Mitos: Tujuan nasional di suatu negara tetap akan tercapai meskipun korupsi marak di negeri tersebut
Fakta: Salah satu ciri negara maju adalah tingkat korupsi cenderung rendah. Hal ini berbeda dengan negara sedang berkembang, yang belum memiliki sistem kelembagaan yang baik sehingga tingkat korupsi biasanya relatif tinggi dibanding di negara maju. Korupsi menghancurkan sendi-sendi negara, pemerintah dan masyarakat. Tidaklah berlebihan jika Kofi A. Annan, mantan Sekjen PBB, menggambarkan dampak korupsi sebagai berikut (UN, 2004):
“korupsi ibarat penyakit menular yang menjalar pelan namun mematikan, menciptakan kerusakan yang sangat luas di masyarakat. Korupsi merusak demokrasi dan supremasi hukum, mendorong pelanggaran terhadap hak azasi manusia, mendistorsi perekonomian, menurunkan kualitas kehidupan dan memungkinkan organisasi criminal, terorisme dan berbagai ancaman terhadap keamanan untuk berkembang’
Perlu dicatat, bahwa korupsi menciptakan misallocation of resources, dan beban sosial korupsi tidak saja menjadi beban bagi generasi saat ini, namun juga beberapa generasi ke depan.
Tujuan nasional bangsa Indonesia termaktup dalam Pembukaan UUD 1945 alienia 4 yaitu: 1) melindungi segenap bangsa Indonesia; 2) memajukan kesejahteraan umum; 3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan 4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan pada kedamaian abadi dan keadilan sosial. Mengingat masifnya dampak korupsi terhadap kehidupan bernegara dan bermasyarakat, maka selama korupsi masih marak, mustahil tujuan nasional akan tercapai. Hal ini juga berlaku pada RPJP, RPJM, Nawa Cita yang dikemukakan Presiden Jokowi, APBN, dan kebijakan Kementerian dan Lembaga (K/L) serta kebijakan pemerintah daerah, dimana tujuan semua kebijakan tersebut tidak akan pernah tercapai selama korupsi masih marak di Indonesia.
Mitos: Tindak pidana korupsi hanya terjadi di sektor publik
Fakta: Tindak pidana korupsi tidak saja terbatas di sektor publik, namun juga di sektor swasta dan bahkan lembaga dan perusahaan internasional yang beroperasi di suatu negara. Patut dicatat bahwa di Indonesia, definisi korupsi terbatas untuk sektor publik mengingat demikianlah batasan definisi korupsi sesuai dengan UU Antikorupsi (UU no 31/1999 jo UU 20/2001). Sesuai dengan UNCAC (United National Convention Against Corruption) definisi korupsi tidak saja mencakup korupsi di sektor publik, namun juga di sektor swasta maupun lembaga/organisasi/perusahaan asing yang beroperasi di suatu negara. Bahkan the Bribery Act di Inggris mampu menjerat koruptor dan praktik korupsi yang terjadi di luar wilayah geografi Inggris, selama individu/lembaga asing tersebut memiliki hubungan kerja dengan pemerintah/lembaga yang berafiliasi dengan Inggris.
Mitos: Tindak pidana korupsi terpisah dari tindak pidana pencucian uang (TPPU)
Fakta: Kegiatan TPPU tidak dapat dipisahkan dari korupsi. Menurut UNCAC (UN, 2004), pencucian uang hasil tindakan korupsi adalah bagian dari cakupan kegiatan yang didefinisikan sebagai korupsi. Pemberantasan pencucian uang adalah bagian dari penanggulangan korupsi. Sesuai dengan UNCAC (UN, 2004), strategi penanggulangan korupsi terdiri dari empat pilar: a) penindakan korupsi; b) pencegahan korupsi; c) pemberantasan TPPU hasil korupsi; dan d) kerjasama trans-nasional untuk penanggulangan korupsi dan pencucian uang. Di Indonesia, UU 8/2010 tentang TPPU meningkatkan peran PPATK sebagai lembaga penegak hukum di bidang TPPU. Berdasarkan UU tersebut, peran PPATK yang semula pasif berubah menjadi aktif dan berwenang melakukan analisis potensi TPPU secara mandiri dan kemudian membagikan hasil analisis kepada lembaga penegak hukum lain. PPATK juga memiliki hak untuk menannyakan kepada lembaga penegak hukum lain tentang penggunaan data-data yang disajikan ataupun dikirimkan oleh PPATK.
Mitos: Dampak korupsi hanya terbatas pada besarnya uang negara yang diambil oleh para koruptor dan tidak berdampak sama sekali terhadap demokrasi.
Fakta: Hubungan antara korupsi dan demokrasi seperti halnya huruf ‘U’ yang terbalik, seperti teori yang dikemukakan oleh Mohtadi dan Roe (2003). Wirotomo (2013) menguji teori Mohtadi dan Roe (2003) dengan pendekatan regresi panel memanfaatkan data 161 negara dari 1995-2011. Quality of Government (QoG) dataset digunakan untuk mengukur kinerja pemerintahan suatu negara, sementara Corruption Perception Index (CPI) dari Transparency International digunakan sebagai parameter korupsi dan Democratization Index dari Polity IV digunakan sebagai parameter demokrasi.
Gambar di atas menunjukkan hasil regresi panel yang menunjukan korupsi dan demokrasi memiliki hubungan “U terbalik” yang secara statistik signifikan (Wirotomo, 2013). Korupsi meningkat pada awal demokratisasi namun setelah pada titik tertentu, korupsi menurun. Dimana titik terendah korupsi tercapai pada tingkat demokrasi yang tinggi.
*Informasi di tulisan ini didasarkan pada Naskah Akademik Prakarsa Bulaksumur Anti Korupsi dan beberapa hasil penelitian di bidang korupsi yang dapat diakses di: RePec dan SSRN.