Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara
Salah satu strategi pencegahan korupsi yang banyak diadopsi oleh berbagi konvensi anti korupsi di berbagai benua adalah pengisian Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN)[1] atau asset declaration. LHKPN merupakan salah satu cara untuk meminimalisasir korupsi yang telah diadopsi oleh banyak negara, terutama negara-negara maju. Ethics in Government Act menjadi landasan pelaksanaan LHKPN di USA yang diratifikasi tahun 1978. Strategi ini diikuti untuk diterapkan oleh negara-negara Eropa Barat di awal dekade 1980-an. Inter-American Convention Against Corruption (yang diadopsi pada tahun 1996) menetapkan agar negara bagian di USA mempertimbangkan langkah-langkah untuk menciptakan, dan memperkuat sistem pencegahan korupsi dengan melaporkan asset, pendapatan, dan kekayaan yang dimiliki oleh pejabat publik yang memiliki posisi penting (Chene, 2011).
The African Union Convention on Preventing and Combating Corruption mengadopsi LHKPN pada tahun 2003, mengajak negara-negara anggotanya untuk mendorong pejabat public di negaranya mendeklarasikan kekayaan yang dimiliki selama dan setelah masa jabatannya usai. Standar Eropa terkait LHKPN tidak secara gambalang mengharuskan LHKPN, namun negara-negara yang berniat untuk bergabung dengan Uni Eropa diharapkan (secara implisit) telah mengadopsi langkah-langkah preventif dalam pemberantasan korupsi. Secara de facto, LHKPN menjadi standard di negara-negara Uni Eropa (Chene, 2011).
Seberapa efektifkan pelaporan harta kekayaan pejabat public dalam meminimalisir korupsi? Penelitian yang dilakukan oleh Mukherjee dan Gokcekus (2006)[2] terkait LHKPN di 16 negara menunjukkan bahwa negara yang memiliki system pelaporan kekayaan pejabat public yang terverifikasi dan terbuka (dapat diakses public) secara signifikan berhubungan dengan persepsi level korupsi yang rendah.
UNCAC mendorong negara-negara untuk mengadopsi LHKPN sebagai salah satu upaya serius pemberantasan korupsi. LHKPN bagi pejabat public merupakan standard yang harus dimiliki oleh suatu negara yang berkomitmen memberantas korupsi. PBB menjadikan LHKPN sebagai standar internasional pemberantasan korupsi (OECD, 2011)[3]. Survey yang dilakukan oleh Bank Dunia pada tahun 2006 menunjukkan bahwa 101 negara dari 148 negara yang menjadi anggota Bank Dunia mewajibkan pejabat publik untuk melaporkan kekayaannya (Chene, 2011)[4].
Reformasi Birokrasi
Salah satu masalah birokrasi di Indonesia adalah tingginya egosektoral antar lembaga pemerintah. Hal ini terjadi pada legislative, eksekutif maupun yudikatif. Penyebab utama egosektoral adalah sistem insentif pegawai negeri yang tidak rasional dan tidak focus pada pencapaian outcome. Indikan kinerja yang berorientasi pada penyerapan anggaran, disertai sistem penggajian non single salary, menjadikan para birokrat berebut menciptakan kegiatan, sehingga kecenderungan sharing pekerjaan antar kementerian dan lembaga sulit tercipta.
Sebagian besar institusi pemerintah di Indonesia belum menerapkan single salary system. Tercatat empat lembaga pemerintah yang telah melaksanakan single salary system yaitu Bank Indonesia, OJK, KPK dan BRR. Selain di empat lembaga tersebut, sistem penggajian yang diterapkan tidak memungkinkan implementasi single salary system.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa gaji PNS berbeda dengan pendapatan PNS tersebut. Meskipun di instansi pemerintah yang telah menerapkan reformasi birokrasi, namun reformasi birokrasi belum mampu menciptakan single salary system. Hal ini mudah dibuktikan dengan adanya PMK mengenai standar biaya umum (SBU). Di dalam PMK tersebut diatur ketentuan berapa insentif untuk menjadi pelaksana program maupun penanggung jawab setiap bulan selama program berlangsung. Artinya, semakin banyak kegiatan/program yang dilakukan oleh PNS, maka semakin tinggi take home pay dari PNS tersebut. Hal ini diperparah oleh ketentuan yang berlaku sejak Orde Baru, bahwa kinerja instansi pemerintah adalah kemampuan menyerap anggaran (APBN). Masalah menjadi kompleks ketika kemampuan penyerapan anggaran suatu institusi pemerintah, belum tentu terkait dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sistem ini mendorong PNS untuk menciptakan berbagai kegiatan dengan tujuan memaksimalkan pendapatan per bulan mereka, meskipun kegiatan tersebut belum tentu berdampak ataupun bahkan mungkin berdampak negative terhadap kesejahteraan masyarakat.
Inefisiensi birokrasi di Indonesia juga dipicu oleh fakta bahwa Indonesia belum memiliki single identity number. Bahwa setiap penduduk Indonesia wajib memiliki KTP itu adalah fakta di lapangan, namun demikian secara nasional pemerintah belum memiliki single identity number (SIN). Konsekuensi yang terjadi adalah banyak orang memiliki KTP lebih dari satu, yang pada dasarnya praktik ini membuat sistem pencatatan kependudukan menghadapi masalah yang sangat kompleks. Ironisnya, pemerintah Indonesia memiliki beberapa program yang efektivitas dan efisiensi kerja dari program tersebut akan terjadi jika dan hanya jika ada SIN. Program BPJS Kesehatan, BPJS Tenaga Kerja, dan penyaluran bantuan tunai langsung (BLT), serta optimalisasi perpajakan, merupakan beberapa contoh program yang akan berjalan dengan baik jika didukung oleh SIN. Namun demikian, Indonesia belum berhasil membangun SIN sehingga kinerja program-program tersebut belum optimal.
[1] LHKPN diadopsi pertama kali oleh Amerika Serikat setelah munculnya skandal Watergate dan beberapa skandal lainnya yang mendorong Kongres Amerika untuk menetapkan Ethics in Government Act pada tahun 1978.
[2] Mukherjee, Ranjana and Omer Gokcekus. (2006). “Officials’ Asset Declaration Laws: Do They Prevent Corruption?” Transparency International’s Global Corruption Report.
[3] OECD. (2011). “Asset Declaration for Public Officials: A Tool to Prevent Corruption.”
[4] Chene, Marie. (2011). “Foreign exchange controls and assets declarations for politicians and public officials.” Transparency International.