Perlu dipahami bahwa menciptakan indikan korupsi yang dapat dibandingkan antar negara tidak mudah. Membandingkan kasus korupsi yang diputuskan di pengadilan antar negara, adalah pekerjaan sulit mengingat setiap negara memiliki kebijakan yang berbeda terkait dengan akses terhadap putusan pengadilan. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) adalah indeks yang dibangun untuk membandingkan tingkat korupsi antar negara dengan menggunakan survey pemangku kepentingan yang berasal dari negara lain.
Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dari berbagai negara ASEAN, secara umum, tingkat korupsi di Indonesia tidak mengalami banyak perubahan. Pada tahun 1995, Indonesia memiliki IPK 1.9 dan berubah menjadi 3.2 pada tahun 2013 atau naik 1.3 poin selama 19 tahun (kurang dari 0.1 poin per tahun). Dengan kondisi yang relatif stagnan ini, tingkat korupsi di Indonesia telah mengalami perbaikan namun belum ada lompatan kinerja dalam penanggulangan korupsi. Selama 19 tahun, Indonesia tetap menjadi salah satu negara dengan tingkat korupsi tertinggi di antara anggota negara ASEAN. Namun yang menarik adalah selisih nilai IPK Indonesia dengan anggota negara ASEAN semakin mengecil setelah 19 tahun.
Grafik 1: Perbandingan IPK ASEAN-5 1995-2013
Sumber: diolah dari Transparency International (2015)
Jika kita melihat perkembangan korupsi Indonesia dengan negara berkembang lainnya maka dalam 19 tahun terakhir negara China dan Nigeria yang memiliki keberhasilan meningkatkan nilai IPK paling besar. Sedangkan Indonesia, Brasil, dan India cenderung tidak mengalami perubahan yang signifikan.
Grafik 2: Perbandingan IPK antara Indonesia dan negara lain
Sumber: diolah dari Transparency International (2015)
Terlepas dari berbagai usaha yang telah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi korupsi, berbagai survey menunjukkan akutnya masalah korupsi di Indonesia. Pada tahun 2010, Political & Economic Risk Consultancy (PERC) merilis hasil survei bisnis. Survei tersebut menempatkan Indonesia pada peringkat pertama sebagai negara terkorup dengan mencetak skor 9,07 dari nilai 10. Angka ini naik dari 7,69 poin tahun 2009. Selain itu, survei internasional 2011 yang dibiayai oleh Neukom Family Foundation, Bill & Melinda Gates Foundation, dan Lexis Nexis, menyebutkan bahwa Indonesia berperingkat rendah dalam hal ketiadaan pemberantasan korupsi dan akses pada pengadilan sipil. Di dunia, Indonesia berada pada peringkat ke-47 dari 66 negara sebagai negara terkorup. Sementara di kawasan Asia Pasifik, Indonesia menempati peringkat 12 dari 13 negara.
Pada tahun 2009, hasil Survey Lembaga Transparansi Internasional (TI), mengungkapkan bahwa Lembaga-Lembaga vertical, (Polisi, Peradilan, Pajak, Imigrasi, Bea Cukai, Militer dll), masih dipersepsikan sangat korup. Menurut versi TI, bahwa lembaga peradilan merupakan lembaga paling tinggi tingkat inisiatif meminta suap (100%), disusul Bea Cukai (95%), Imigrasi (90%), BPN (84%), Polisi (78%) dan Pajak (76%).
Skala 1-5, dimana 5 berarti sangat korup.
Grafik 3: Persepsi Masyarakat Terhadap Korupsi
Sumber: Global Corruption Barometer (2013)
Berdasarkan survei Global Corruption Barometer (2013), kepolisian justru dianggap sebagai salah satu institusi yang korup. Jika kita melihat pengalaman dari Singapura, salah satu syarat penting dari pemberantasan korupsi adalah lembaga anti-korupsi harus bersih dari korupsi. Sehingga selama lembaga kepolisian belum dipandang bersih dari korupsi maka lembaga tersebut bukan lembaga yang ideal menjadi lembaga anti-korupsi.
Sumber:
Thontowi Jawahir, Prospek Pemberantasan Korupsi: Perimbangan Kewenangan KPK dengan Institusi Penegak Hukum, diakses dari situs : http://www. journal.uii.ac.id/index.php/Unisia/article/view/168/159, tanggal 15 April 2009, hal. 2.
* Informasi di tulisan ini didasarkan pada Naskah Akademik Prakarsa Bulaksumur Anti Korupsi dan beberapa hasil penelitian di bidang korupsi yang dapat diakses di: RePec dan SSRN.